Pengertian dan Syarat Ijtihad, Menjadi Mufti dan Mujtahid: - TERJEMAH WARAQAT- Ngaji 04-

 Ngaji Kitab Terjemahan Waraqat

Hukum Asal, Istishab, Urutan Pengambilan Dalil, Syarat Menjadi Mufti, Syarat Mustafti, Pengertian Taqliid dan Pembahasan mengenai Ijtihad serta Mujtahid



بسم الله الرحمن الرحيم

18. Hukum Asal dan Istishab

Adapun Hadzr (hukum haram) dan ibahah (hukum boleh/mubah) itu terdapat ulama yang berpendapat bahwa; segala sesuatu itu menetapi hukum haram kecuali terdapat dalil syariat yang memperbolehkan.

وأما الحضر والاباحة فمن الناس من يقول ان الاشياء على الحضر الا ما اباحته الشريعة

 

Dan (juga) terdapat ulama yang berpendapat dengan sebaliknya yakni, secara asal (hukum asal) segala sesuatu adalah boleh (ibahah) kecuali terdapat dalil syara’ yang mengharamkannya.

ومن الناس من يقول بضده وهو ان الاصل في الاشياء الاباحة الا ما حضره الشرع.

 

Makna istishab al-hal adalah memberlakukan hukum asal di saat tidak adanya dalil syar’inya.

ومعنى استصحاب الحال ان يستصحب الاصل عند عدم الدليل الشرعي

 

19. Urutan Prioritas Penggunaan Dalil (Tartibul Adillah)

Adapun (mengenai) dalil-dalil itu harus didahulukan dalil yang jelas daripada dalil yang masih samar. (mendahulukan) Dalil yang berimplikasi pada keyakinan daripada yang berimplikasi pada dugaan. (mendahulukan) dalil nutq (yakni Alqur’an dan Sunnah) daripada Qiyas. (mendahulukan) qiyas jali daripada qiyas khafi.

وَأما الْأَدِلَّة فَيقدم الْجَلِيّ مِنْهَا على الْخَفي والموجب للْعلم على الْمُوجب للظن والنطق على الْقيَاس وَالْقِيَاس الْجَلِيّ على الْخَفي

 

Selanjutnya, apabila di dalam nutq (Alqur’an dan Sunnah) terdapat dalil yang mengubah hukum pertama (maka yang dipakai adalah dalil nutq). Kecuali apabila tidak ditemukan dalil yang merubah hukum pertama pada nutq maka menggunakan dalil istishab al-hal.

فَإِن وجد فِي النُّطْق مَا يُغير الأَول[1] وَإِلَّا فيستصحب الْحَال

 

20. Syarat menjadi Mufti

Termasuk dari syarat Mufti adalah menguasai (alim) fikih, yakni  menguasai hukum asal, hukum cabang, perbedaan pendapat pada suatu hukum dan madzhab.

وَمن شَرط الْمُفْتِي أَن يكون عَالما بالفقه أصلا وفرعا خلافًا ومذهبا

 

(Begitu juga syarat mufti adalah) ia harus sempurna perangkat dalam ber-ijtihad, mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menggali hukum yakni ilmu nahwu, ilmu lughah, pengetahuan mengenai para perawi hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.

وَأَن يكون كَامِل الْأَلة فِي الِاجْتِهَاد عَارِفًا بِمَا يحْتَج إِلَيْهِ فِي استنباط الْأَحْكَام من النحو واللغة ومعرفة الرجال الراوين وَتَفْسِير الْآيَات الْوَارِدَة فِي الْأَحْكَام وَالْأَخْبَار الْوَارِدَة فِيهَا

 

21. Syarat Mustafti (Orang yang Meminta Fatwa) dan Taqliid

Sebagian dari syarat-syarat mustafti (orang yang meminta fatwa) adalah ia termasuk orang yang ahli taqliid (pengikut). Oleh karena itu, ia harus mengikuti fatwa-fatwa dari seorang mufti.

وَمن شُرُوط المستفتي أَن يكون من أهل التَّقْلِيد، فيقلد المفتي في الفتيا

 

Orang alim (mujtahid) tidak boleh taqliid.

وَلَيْسَ للْعَالم أَن يُقَلّد

 

Taqliid adalah menerima pendapat seseorang tanpa disertai dalil (hujjah).

والتقليد قبُول قَول الْقَائِل بِلَا حجَّة

 

Berdasarkan pengertian ini, menerima perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut taqliid.

فعلى هَذَا قبُول قَول النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يُسمى تقليدا

 

Sebagian ulama mendefinisikan taqliid sebagai menerima pendapat seseorang, sementara Anda tidak mengetahui darimana perolehan pendapat tersebut.

وَمِنْهُم من قَالَ التَّقْلِيد قبُول قَول الْقَائِل وَأَنت لَا تَدْرِي من أَيْن قَالَه

 

Oleh karena itu, (berdasarkan definisi kedua ini) apabila kita mengatakan; “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berbicara berdasarkan qiyas”. Maka menerima ucapan tersebut boleh dikatakan sebagai taqliid.

فَإِن قُلْنَا إِن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يَقُول بِالْقِيَاسِ فَيجوز أَن يُسمى قبُول قَوْله تقليدا

 

22. Ijtihad dan Mujtahid

Adapaun ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk sampai ke tujuannya.

واما الاجتهاد فهو بذل الوسع في بلوغ الغرض.

 

Kemudian, seorang mujtahid apabila ia sempurna perangkat ijtihad-nya, lalu melakukan ijtihad pada hukum-hukum cabang, kemudian ia benar (dalam ijtihad-nya) maka ia mendapatkan dua pahala.

فالمجتهد ان كان كامل الالة في الاجتهاد فان اجتهد في الفروع فأصاب فله اجران،

 

Lalu, apabila ia ber-ijtihad pada suatu hukum dan ia keliru (dalam ijtihad-nya), maka ia mendapatkan satu pahala.

فان اجتهد فيها وأخطأ فله اجر.

 

Sebagian ulama berpendapat; setiap mujtahid pada masalah hukum cabang pasti benar.

ومنهم من قال كل مجتهد في الفروع مصيب.

 

Tidak diperbolehkan mengatakan: “setiap mujtahid dalam masalah ushul kalam (ushul addin/ pokok agama) pasti benar”. Karena, hal tersebut memberikan label pembeneran pada orang-orang yang sesat seperti orang-orang nasrani, majusi, orang kafir dan kelompok-kelompok ateis.

ولا يجوز ان يقال كل مجتهد في الاصول الكلامية مصيب، لان ذلك يؤدي الى تصويب اهل الضلالة من النصارى والمجوس والكفار والملحدين.

 

Dalil ulama yang berpendapat setiap mujtahid dalam masalah hukum cabang benar adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Barang siapa yang melakukan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia berhak mendapatkan dua pahala. Dan barang siapa ber-ijtihad dan ia keliru, maka ia berhak mendapatkan satu pahala.

ودليل من قال ليس كل مجتهد في الفروع مصيبا قوله صلى الله عليه وسلم من اجتهد فأصاب فله أجران و من اجتهد وأخطأ فله أجر واحد.

 

Titik tekan dalil tersebut adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu kondisi beliau memberi penilaian salahya mujtahid dan memberi predikat benar pada kondisi yang lain.

وجه الدليل ان النبي صلى الله عليه وسلم خطأ المجتهد تارة وصوبه أخرى.


Wallahu a’lam bisshawab

Tammat

Alhamdulillah bi aunillah, wa assholatu wassalamu ‘ala Muhammad Rasulillah

Semoga Bermanfaat

 

Edited By: Kitabterjemahan.my.id

 

<< Ngaji Sebelumnya…



[1] Pada cetakan lain menggunakan redaksi الاصل

Post a Comment for "Pengertian dan Syarat Ijtihad, Menjadi Mufti dan Mujtahid: - TERJEMAH WARAQAT- Ngaji 04-"