Pertarungan Sengit: Ngaji, Sekolah dan Kerja

Artikel Santri:


<PROLOG>

Ngaji, apa itu ngaji? Mengapa harus ngaji?
Sekolah, apa itu sekolah? Mengapa harus sekolah?
Kerja, apa itu kerja? Mengapa harus kerja?
Pertanyaan konyol macam apa ini, mengapa harus mempertanyakan hal kampret semacam ini. Tentu saya tidak akan puas dengan jawaban supaya pintar, supaya bisa beribadah, supaya bisa bekerja, supaya mampu menularkan ilmunya ataupun kerja supaya mendapat uang dan menghidupi keluarganya. Walaupun bisa dikatakan benar jawaban-jawaban tadi tapi versi saya terlalu dangkal dan mainstream jawaban seperti itu.
Terus jawaban apa yang sebenarnya saya cari?
Rasa ecstasy dari hembusan asap rokok pun tak mampu mengusirnya rasa “embuh” itu. “gelem ra gelem luru jawabane ki” , itu kata diriku padaku. Namun, kalau masalah ini langsung dilamunkan tentu akan terjebak pada benar dan salah versi ego dan empiris blaka, jadi lebih baik cari modal ngelamun lewat maqolah­ ulama sebagai landasan ngelamun.
tholabul ilmi faridhotun …..” hadist ini yang tiba-tiba mengintervensi ngalamun saya. “Mungkin ini hakikat dari ngaji” komentar saya di dalam pelamunan. Soalnya kalau merujuk dari kata “ngaji” pondasi lamunan saya akan tidak kokoh. Ada yang mengatakan ngaji dari kata sanga (9) dan siji (1), ada yang mengatakan kata ngaji berasal dari kata “aji” bahkan ada yang mengatakan ngaji itu  derivasi dari kata haji (dalam Bahasa jawa kaji), ada satu yang aneh jika ngaji berasal kata kaji (dalam Bahasa Indonesia), tentu malah kurang logis jika dirunut umur dari Bahasa Indonesia dan Jawa.
Terlepas dari itu -sebagai pelarian ketidak mampuanku mencerna ata ngaji secara etimologi-, kata ngaji berarti belajar yang identik digunakan di pondok pesantren sebagai representasi mempelajari ilmu-ilmu agama.
Suara Al qur’an dari tape recorder sudah menjadi alarm menghentikan kegiatan melamunku, Masih banyak sebenarnya masalah yang belum terselesaikan terhadap diri sendiri, “besok lanjutin lagi, mari tubuhku kita berkegiatan lagi dengan tanpa akal untuk saat ini, sekarang urusan hati”

<PART I>
ya nabi salam alaik, ya rasul salam ‘alaik”, Sayup-sayup terdengar ditelinga dari sebuah smartphone yang sekarang ini nyaris dipertuhankan entah sadar atau tidak barang ini telah diposisikan seperti halnya keris ataupun batu akik era lampau yang diyakini sebagai aji-aji. Dianggap kafir bagi orang yang meyakini hal tersebut oleh sebagian kalangan. Lantunan tersebut menghangatkan hati dan pikiran saya. Semoga dengan diiringi solawat kepada Beliau Sang Junjungan Umat, lamunan saya lurus dan mendapat bimbingan.
Bismillah…
Beranjak dari lamunan malam kemarin, yakni hakikat ngaji dan medan makna dari ngaji. Setidaknya dari lamunan kemarin bisa dijadikan hipotesis mengenai ngaji bermakna belajar, mencari ilmu, menyempurnakan diri, mengkaji ilmu-ilmu agama, karena ngaji identik dengan pesantren yang notabene kajiannya berupa ilmu agama.
Kemudian saya timbul pertanyaan lagi,” apa itu ilmu agama?” ah, kampret sekali ini, ingin menjawab “mengapa harus ngaji” malah timbul pertanyaan lain. Sepertinya harus mendatangkan partner diskusi di dalam diri saya, supaya semi dialektis dan sistematis. Aku akan menciptakan dua diriku yang lain di dalam lamunanku dengan nama Bejo, Jono dan Aku tentunya.
Aku: ilmu agama itu apa jo, jon?
Bejo: ini kok tiba-tiba tanya gitu?
Jono: ah, Bejo-Bejo kamu berlagak tidak mengerti latar belakangnya saja, padahal kamu kan satu padu denganku dan si Aku.
Bejo: hehe… nih, saya kasih tau mengenai ilmu agama menurut versi saya, ilmu agama secara ilmiah jelas tidak masuk kategori ilmu, mungkin yang dimaksud adalah hakikat agama itu sendiri yang wajib dipelajari. Yaitu ketundukan akal dengan tauhid, tubuh dan hati dengan berfikih, ber tasawuf (ilmu sirr). Ra ngandel dicek nang kitab Minhaj al qowwim ato nang Faidh al qodir!
Aku: itu menurut versimu kan? Berarti ketika ada penjelasan yang lebih baik bisa tergeser?
Bejo: yak, seperti itu. Lagian ini kan refleksi pribadi yang masih sangat kental dengan ke-subyektif-an.
Jono: berarti itu tidak filosofis Jo, kurang mendalam jawaban kamu, karakteristik jawaban mendalam itu berdasar filsafat yakni rasional, nalar yang menggunakan akal. Itu kamu nyuplik pendapat orang lain.
Bejo: heh, bedakan dong Jon wilayah filsafat dan agama. Jangan dicampur aduk seperti itu. Koe ngeyel meneh, refleksine bisa nganti 10 episode lho.
Jono: nggih mbah bejo, sendiko dawuh.
Bejo: Asui.
Jono: saru koe Jo, dosa!
Bejo: omongan Asu kui mau kan mung nang lamunan, ora didhohirke, dadi ra dosa kok yo, geblek koe…
Jono: lha iki kan ditulis pada wae didhohirke.

(bersambung…..)
By: Kang Irham

2 comments for "Pertarungan Sengit: Ngaji, Sekolah dan Kerja"