Artikel Santri:
بسم الله الرحمن الرحيم
Sedikit
mengingatkan, terutama untuk refleksi diri dulu saja. Sistematika pembahasannya
seperti ini. Dalam islam nyaris semua praktik peribadatan terdapat satu dimensi
khusus yaitu berorientasi kemaslahatan sosial. Seperti contoh sholat, walaupun
sholat adalah ibadah mahdoh, tapi sesuai dengan ayat "sesungguhnya
sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar". Coba bayangkan
apabila semua orang mendapatkan intisari ini? Bukan kah kehidupan sosial akan
aman dan tentram?
Beda bukan berarti lawan |
Begitu
juga puasa dan zakat yang merupakan ibadah yang "sosial-able". Puasa
untuk merasakan kondisi sesama manusia yang kurang beruntung, zakat yang
berpotensi meringankan beban masyarakat kalangan bawah. Sehingga dengan dengan
hal ini semua peluang untuk bersatu semakin besar. Jadi, kebersatuan dan
kebersamaan yang penuh empati merupakan final kehidupan dunia yang -sepaham
saya- bisa disebut rahmatal lil 'alamin.
Namun,
pada dekade akhir ini (masih belum surut) beberapa amaliyah yang “sosial-able”
menjadi target judgement dengan label nerakawi alias bid'ah.
Karena beda warna yang tadinya dengan tetangga saling sapa, ramah langsung mbesengut
gara-gara vonis ahli bid'ah wal jamaah. Yang nantinya bukan kebersatuan
dan kebersamaan yang diperoleh namun perpecahan. Padahal menjaga persatuan itu
wajib.
Begini
saja mari merenungkan mutiara hikmah milik Ibnu Athoillah Assakandari:
من علامات اتباع الهوى المسارعة
الى نوافل الخيرات والتكاسل عن القيام بالواجبات.
“Sebagian tanda mengikuti hawa nafsu adalah buru-buru dalam
melakukan kebaikan-kebaikan yang sunah sementara itu bermalas-malasan melakukan
kewajiban”
Jadi
nganu….
Saya
juga (masih) termasuk yang mengikuti hawa nafsu kok. 😀😀 Tapi saya tahu kalau
persatuan merupakan kewajiban. Jadi ya
mari perbaiki bareng-bareng ajah. ✌✌
By:
Kang Irham
Post a Comment for "DIMENSI SOSIAL-ABLE DALAM IBADAH"